Saturday, November 13, 2010

LEK FAR…OH, LEK FAR..!!

Para tetangga memanggilnya lek Far. Entah, aku juga tak tahu persis siapa nama lengkapnya. Rumah Lek Far hanya berjarak satu rumah di belakang rumahku. Perawakannya tidak begitu tinggi. Berkulit putih. Tubuhnya lumayan gemuk, khas perawakan ibu-ibu di kampungku. Serasa tak ada yang istimewa. Tapi beberapa hari yang lalu, nama Lek Far tiba-tiba menjadi isu hangat di kampungku. Setiap orang membincangkannya. Mulai dari tetangga dekat, ketua PKK hingga di acara rutinan desa dan rumpian ibu-ibu tetangga. Semua seolah kompak mengangkat satu tema: Lek Far.

Ya.. sehari sebelumnya lek Far wafat. Perempuan yang masih terbilang muda usia dan memiliki tiga orang anak itu meninggal akibat gagal ginjal, paru-paru dan beberapa penyakit lainnya. Menurut saudara dekat yang menyertai detik-detik terakhir hidupnya, kondisi ginjal lek Far sudah demikian parah hingga akhirnya merenggut hidupnya.

“Wong kata pak dokter ginjalnya udah hancur kok mbak.” Ujar seorang kerabat dekatnya dengan wajah prihatin. Aku begidik mendengarnya.

Dan malam itu, aku tak bisa memicingkan mata. Senyum renyah Lek Far yang selalu terasa akrab menyapa bila aku melintas di depan rumahnya seakan tak henti berkelebat di benakku. Memang benar, tak ada yang menyangka perempuan sesegar itu ternyata ditimpa penyakit demikian parah.

Sebenarnya sudah sejak lama Lek Far mengeluh dadanya terasa sesak. Beberapa kali memeriksakan diri ke dokter dan rotgent, akhirnya dokter menyatakan Lek Far terkena penyakit paru-paru. Namun anehnya, setiap kali habis mengkonsumsi obat dari resep dokter itu, Lek Far mengeluh tubuhnya terasa lemah dan lesu. Setelah kembali mengkonsultasikan pada dokter langganannya, sang dokter memberinya obat mag karena menurut pak dokter lambung Lek Far tak kuat dengan obat paru-paru itu. Bolak-balik ke dokter tanpa perubahan signifikan pada sakit yang dideritanya, akhirnya Lek Far memutuskan mengkonsumsi jamu atau obat-obatan tradisional untuk mengatasi rasa sakit yang dirasakannya.

Anehnya, tiap kali Lek Far memiliki obat tradisional baru dan saudara dekatnya menanyakan tentang obat itu, Lek Far selalu menjawab bahwa dia tak sakit apa-apa. Hanya ingin mengecilkan perut gendutnya saja, demikian Lek Far selalu beralasan.
Nyatanya kian hari ginjalnya makin parah. Dan Lek Far bukan orang yang gemar mengeluh pada siapapun mengenai sakit yang dirasakannya. Mungkin sekalipun itu pada suaminya sendiri. Hingga sore itu Lek Far merasa tak kuat lagi menyembunyikan deritanya. Lek Far mengeluh minta dibawa ke rumah sakit.

“Aku udah gak kuat lagi.”

Demikian keluhnya berulang kali. Akhirnya Lek Far dirawat di Rumah sakit. Celakanya setelah dokter melakukan check up, baru diketahui bahwa sumber dari semua sakit yang dirasakannya adalah penyakit gagal ginjal. Dan melihat kondisi ginjalnya yang sudah sedemikian parahnya, menurut dokter penyakit itu tentu sudah diidapnya sekian lama. Memang Lek Far punya penyakit paru-paru. Tapi kondisinya tak separah ginjal yang dideritanya.

Hingga sore itu Tuhan menyukupkan deritanya dan mengambil nyawanya. Semua menangis, kecuali si bungsu yang masih berusia lima tahun dan tak begitu faham apa yang sebenarnya terjadi.

Dan itulah takdir bagi Lek Far. Alloh menyukupkan umurnya hingga hari itu melalui menyakit ginjal yang dideritanya. Tapi tentu tak mudah menerima kenyataan itu sebagai takdir semata. Buktiya seisi kampung seolah malah mengadili suami Lek Far sebagai biang keladi bagi semua kesengsaraan yang dirasakan oleh istrinya. Menurut para kerabat dan tetangga, penyakit ginjal itu menjadi demikian parah tanpa terdeteksi sebelumnya karena Lek Far selalu takut pada suaminya tiap kali merasakan ketidakberesan pada perut dan pinggangnya. Lek Far selalu takut menuntaskan pengobatan penyakitnya karena takut terhadap suaminya. Menurut para tetangga, suaminya memang selalu terlihat acuh atas derita istrinya itu. Jika Lek Far terlihat pucat dan kerabatnya menanyakan tentang kondisi sang istri, suami Lek Far hanya menjawab bahwa istrinya sedang kedinginan sehabis mencuci pakaiannya dan pakaian milik anak-anaknya.

Mendengarkan rerasan tetangga, aku hanya bisa mengangguk-angguk tanpa tahu mesti berbuat apa. Sebab, aku merasa tak pernah tahu kenyataan yang sebenarnya. Apakah benar demikian jahat perilaku suami Lek Far. Atau mungkin para tetangga saja yang sedang terbawa suasana sehingga mencoba mencari kambing hitam atas sebuah peristiwa.

Entahlah.. yang jelas, sungguh tak elok mengadili suami Lek Far di tengah kepedihan yang dideritanya. Ditinggalkan seorang istri dengan menanggung beban tiga orang anak yang biasanya dirawat bersama tentu bukanlah hal mudah. Apalagi jika harus ditambah rasa bersalah yang tak berkesudahan jika apa yang dituduhkan adalah sebuah fakta. Belum lagi derita apalagi yang mesti ditanggung oleh anak-anak Lek Far jika mereka menyangka bapaknyalah yang bertanggungjawab atas kematian ibunya.

Sungguh, bukan saat yang tepat rasanya mengadili suami Lek Far tanpa bukti dan saksi yang bisa diyakini kebenarannya itu..

Akhirnya semoga Alloh mengasihi Lek Far dan keluarganya. Semoga dosa-dosanya diampuni dan amal ibadahnya diterima. Dan semoga keluarganya diberi ketabahan dan kemudahan. Amin ya Robbal ‘alamin…..

No comments: