Wednesday, July 2, 2008

MEMILIH SEKOLAH BUAT CACA

Mama caca pernah membaca sederet tulisan di kaos teman. Tulisan yang terilhami dari pemikiran seorang filosof kenamaan.”SEKOLAH ITU CANDU, karena itu aku tak akan menyekolahkan anak-anakku”. Meski dalam eforia pemikiran masa muda mama caca pernah mengamininya, namun kini mama caca tak lagi menganggap pemikiran itu mesti dituruti. Dan kini, ketika caca berusia 3,5 tahun, mama caca mulai bingung memilih sekolah untuk caca.

Sebagai orang tua, mama caca tentu menginginkan sesuatu yang ideal untuk anak-anaknya. Setelah berusia tiga tahun lebih dan menghabiskan waktu satu tahun setengah di play group, mama caca berusaha “membaca” caca dengan lebih seksama. Membaca caca berarti menyelami sifat dan kebiasaannya sehari-hari. Potensi positif dan negatif yang dimilikinya.

Dari situ mama caca melihat caca adalah anak yang aktif, lumayan cerdas, suka hal-hal baru, suka banyak teman, suka bercerita atau terbuka terhadap apa yang dirasakan dan diinginkannya. Caca juga selalu mengingat setiap jawaban yang pernah ditanyakannya. Jika suatu kali pertanyaan yang sama diajukannya, tapi mendapat jawaban yang berbeda, caca pasti akan protes. Atau jika jawaban yang diberikan dianggapnya tidak benar, caca pasti akan marah. Namun caca juga memiliki potensi yang kurang baik jika tidak segera diatasi. Misalnya sifat manja, kurang mandiri, tidak mau mengalah, cuek, gampang bosan dan cenderung seenaknya sendiri.

Dengan potensi yang dimilikinya, mama caca ingin memilih sekolah buat caca. Paling tidak ada kriteria sekolah yang tercatat dalam benak mama caca. Pertama; sekolah itu mesti bisa memberikan sesuatu yang menarik minat caca untuk belajar. Baik mempelajari pengetahuan baru maupun mempelajari tata cara bersosialisasi.Yang kedua; sekolah itu mesti mendorong caca untuk lebih mandiri dan mengerti akan tanggungjawabnya sesuai umur dan kemampuannya sebagai siswi Taman Kanak-kanak. Yang ketiga; akan lebih baik jika sekolah itu memiliki sistem terpadu. Jadi bukan hanya tempat belajar dan bermain, akan tetapi juga tempat ia bisa belajar mengaji dan beribadah.

Setelah melakukan survey kecil-kecilan, mama caca berhasil menemukan sekolah sesuai yang diinginkan. Caca juga terlihat tertarik. Namun ternyata ada masalah lain yang mengganjal. Masalah yang terbilang ideologis orang bilang. Meski mama caca tak pernah mempermasalahkannya, namun tidak demikian dengan orang-orang disekitar mama caca. Dan setelah berdiskusi dengan abah caca, akhirnya mama caca mencoba mendamaikan impian dan kenyataan. BAIKLAH!!, tak ada gunanya keukeuh pada impian sendiri. Toh, masih ada cara lain untuk mendidik caca. Dan semoga pilihan ini tepat. Untuk caca dan orang-orang yang mencintainya....